Ikhlas
عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قال رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ, وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.”
Dari Umar bin Alkaththab Radhiyallahu ‘Anhu berkata: Rosulullah Shallallahu’alaihi wasalam bersabda: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung dengan niat-niatnya. Sesungguhnya bagi setiap orang apa yang telah dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rosul-Nya, maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan rosul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia raih atau kepada seorang wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya akan sampai pada apa yang dia hijrahkan untuknya.”
Takhrij hadits:
Diriwayatkan oleh Imam Bukhory (1 & 54). Muslim (1907).
Penjelasan:
Landasan setiap amalan adalah keikhlasan. Dengan keikhlasan, hati dan jiwa menjadi lurus dan tenteram. Dengan keikhlasan, seseorang akan mengenal jalan menuju agamanya secara benar sehingga dia akan mendatangi rumah-rumah dari masing-masing pintunya.
Hanya dengan keikhlasan, dia akan mengetahui kewajiban-kewajiban yang telah diwajibkan kepadanya serta hak-hak yang telah ditentukan untuknya.
Dengan keikhlasan dia dapat mengembalikan segala urusan pada porsinya masing-masing lalu melaksanakannya sesuai dengan yang dituntut darinya tanpa berlebihan ataupun mengurangi.
Hadits ini termasuk dari salah satu hadits yang merupakan pilar-pilar untuk memahami agama kita yang lurus ini.[1]
Apabila seorang hamba muslim mengetahui dengan jelas dan nyata apa yang telah disebutkan di atas, wajib baginya untuk meliputi keikhlasannya dengan hiasan-hiasan kepribadian islamy tanpa ragu dan maju-mundur. Di antaranya adalah:
Dia Berbeda Dengan Yang Lain
Sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu’alaihiwasalam :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بين يدي الساعة حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ, وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي, وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي, وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.”
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu berkata: Rosulullah Shallallahu’alaihiwasalam bersabda: “Aku diutus dengan pedang di hadapan hari kiamat sampai Allah disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Rezekiku dijadikan dibawah naungan tombakku. Kehinaan dan kerendahan dijadikan atas orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka.”[2]
Takhrij hadits:
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5114) dan oleh yang lainnya dengan sanad yang hasan.
Saya telah jelaskan secara perinci tentang hadits ini ketika saya mentaklik kitab “Al Hikam Al Jadirah Bil Idzaa’ah” (hal. 1 – 3) karya Ibnu Rajab Al Hanbaly.
Penjelasan:
Seorang muslim harus memiliki kepribadian yang berbeda dari lainnya. Yang mana kepribadiannya itu memiliki karakter yang spesial, prinsip yang spesial, dan metode yang spesial pula. Seorang muslim harus berbeda dalam penampilannya, dalam penerimaan kabar, dalam aqidahnya, dalam kiblatnya, dan dalam seluruh urusan kehidupannya.
Dengan perbedaan sebagai muslim, kita dapat memelihara keislaman dan dakwah kita yang bersih dan suci. Tidak ada syubhat di dalamnya juga tidak ada kesalahan yang menggelayotinya.
Seorang muslim di dalam perbedaannya tidak keluar dari jalur
Keadilan
Sebagaimana hadits Rosulullah Shallallahu’alaihiwasalam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا, وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا.”
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata: Rosulullah Shallallahu’alaihiwasalam bersabda: “Cintailah orang yang kamu cinta sekedarnya saja karena bisa saja suatu hari nanti dia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja karena bisa saja suatu hari nanti dia akan menjadi orang yang kamu cintai.”[3]
Takhrij hadits:
Diriwayatkan oleh Imam Turmudzy (1997), Ibnu ‘Ady (2 / 593), Tammam dalam kitab “Al Fawaaid” (1536), dan Ibnu Hibban dalam kitab “Al Majruuhiin” (1 / 351) dari jalur Suwaid bin Amr Al Kalby, telah berbicara kepada kami Hammad bin Maslamah, dari Ayyub As Sakhtiyany, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu.
Saya katakan: Sanad hadits ini insya Allah shahih. Karena di dalam sanandnya tidak ada yang harus diteliti kecuali Suwaid. Imam Ibnu Hibban terlalu berlebihan dan terlalu berani di dalam mengomentarinya sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Adz Dzahaby dalam kitab “Al Miizaan” (2 / 253). Padahal sekelompok dari para peneliti hadits telah mentsiqahkannya sehingga menjadikan Al Hafidz Ibnu Hajar lebih memilih untuk mentsiqahkannya juga. Beliau berkata dalam kitab “At Taqriib” (2694): “(Suwaid) adalah tsiqah. Ibnu Hibban telah berlebihan di dalam mengomentarinya tanpa membawa bukti.” Pendapat inilah yang insya Allah benar.
Hadits ini juga telah dishahihkan oleh sekelompok ahli hadits, seperti Al Hafidz Al ‘Iraqy dalam kitab “Takhriijul Ihyaa” (2 / 186), Imam Al Munawy dalam kitab “Al Faidh” (1 / 177), Imam Az Zubaidy dalam kitab “Al Ithaaf” (6 / 233), dan selain mereka.
Penjelasan:
Seorang muslim harus berbuat adil ketika mencintai dan membenci. Dia harus berbuat adil ketika mengambil dan memberi. Dia adil dalam semua hal.
Keadilannya itu terlahir dan tumbuh dari ajaran-ajaran agama dan syiar-syiar pensyariatnya. Dia tidak termasuk dari orang-orang yang ghuluw (berlebihan dalam agama) tidak juga termasuk dari orang-orang yang menyepelekannya.
Seorang muslim di dalam keadilannya tidak berlandasan dari akalnya, hawa nafsunya, logikanya, atau lain sebagainya. Melainkan dia mengambil itu semua dari Kitab Allah Ta’ala:
((وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا))
((Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[4] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.))[5]
Namun ketahuilah, bahwa keadilan bukanlah perkara yang mudah dan gampang. Berapa banyak orang yang menyerukan keadilan, tetapi hakikatnya mereka hanya menginginkan kelembekan dan kelunakan.
Sumber :
Al Arba’uun Hadiitsan Fii Asy Syakhshiyyah Al Islaamiyyah (Syeikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al Halaby)
Diterjemahkan oleh Ust. Umair Suharlan, Lc.
[1]. At Taqyiid karya Ibnu Nuqthah : 2 / 6 – 7.
[2]. Dishahihkan oleh Syeikh Al Albany dalam kitab Shahiih Al Jaami’ Ash Shaghiir no. 2831. dan kitab Irawaa’ul Ghaliil: 5 / 109.
[3]. Dishahihkan oleh Syeikh Al Albany dalam kitab Shahiih Al Jaami’ Ash Shaghiir no. 178. dan kitab Shahiih Turmudzy no. 1997.
[4]. Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, Karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat.
[5]. Al Baqoroh : 143.
الأربعون حديثافي الـشـخـصـيـة الإسـلامـيـة